Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 28 Februari 2011

bukan perempuan biasa

Aku akan selalu ada disampingmu. Meski jiwa dan ragaku terkuras. Harta kita pun terkuras. Emas-emas dagangan kita dulu habis oleh penyakitmu. Dan hingga sejauh ini, Tuhan pun masih menguji kita.” Minah berdialog dengan suaminya, meski tak pernah ada balasan dari mulut suaminya itu. Sambil mangangkatnya dari tempat tidur lalu mengikatnya dengan kain hitam sampai suaminya benar-benar menancap di punggungnya. 

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00, mungkin para pelanggannya sudah menunggu di depan pintu rumah mereka masing-masing. Sudah menjadi kebiasaan sehari-hari seperti ini dalam kehidupan Minah. Badannya yang terlihat masih kekar dan kuat meski sudah berumur 42 tahun. Karena pada masa mudanya dulu ia selalu bergelut dengan dunia olah raga. Sehingga sampai detik ini, dengan kebugarannya ia bisa membawa suaminya itu menancap di punggungnya, sekira selisih tiga tahun dari umurnya. Badan suaminya tidak seindah dulu, berotot. Sekarang, tinggal tulang-tulangnya saja yang Minah bawa. Dagingnya sudah habis di makan virus. 

            Minah mendorong gerobaknya dengan keringat bercucuran. Padahal ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah pelanggannya yang pertama. Ya, setiap pagi selalu begitu. Sedangkan suaminya yang lumpuh itu selalu dibaringkan di teras rumah setiap kali ia melayani pembelinya—rumah siapa pun.
 
            ”Mbak, kenapa sih si bapak selalu dibawa-bawa? Kenapa tidak ditinggal saja di rumah?” Salah seorang pembeli bertanya. 

            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya.” Jelas Minah dengan penuh keyakinan.
 
            ”Emang keluarga Mbak kemana?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh.
 
Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini.” Sambil memotong lontong dagangannya.
            “Anak Ibu?”
            “Anak?” Ia berhenti memotong-motong lontong. Tiba-tiba matanya menatap tajam awan langit yang mendung diatasnya. Terlintas dalam benaknya bayangan itu. 
       
            Lima belas tahun yang lalu, Minah masih nampak ceria dengan rumah tangganya. Dengan diberikannya seorang anak perempuan yang amat lucu. Sekira sudah berumur tiga tahun. Anak perempuannya itu bagaikan cahaya yang selalu menerangi gelapnya lampu hidup. Kehidupan Minah dan suaminya penuh dengan warna dan keceriaan. Namun sayang, kejadian yang tidak diiinginkan  terjadi. Anaknya meninggal dunia karena tersambar petir akibat kelalaian kedua orang tuanya saat hujan lebat turun. Anak itu keluar rumah saat melihat banyak air berjatuhan di luar. Seketika anaknya hangus seperti ayam panggang. Dan sejak itulah suaminya pertama kali terkena serangan jantung. Namun Minah sabar menghadapi cobaan itu. “Tuhan selalu menyertaiku” Dalam hatinya.
 
            “Mbaaak....” Pembeli itu menepuk bahu Minah dan seketika minah pun tersadar dari lamunannya. Kembali ia memotong-motong lontongnya.



***

Minah melangkahkan kakinya kembali ke pelanggan selanjutnya. Suaminya pun ia gendong kembali dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan tiada tara. Sebelumnya ia meminumkan obat terlebih dahulu agar suaminya itu tidak kejang-kejang—biasanya begitu jika tidak diberi obat. “Aku harus tetap kuat... harus!” Gerutunya.
 
Sekitar 100 meter ia berjalan dari pelanggannya yang pertama, ia pun sampai di depan rumah pelanggannya yang kedua. Terlihat pelanggannya yang kedua sudah menunggu disisi pintu rumah. Minah mengangguk sambil tersenyum, menandakan ia sudah siap melayani pelanggannya yang kedua itu. Dibaringkannya kembali suaminya itu. Namun kali ini ia membaringkannya di sofa pelanggannya—tidak seperti biasanya. 
 
“Sudah tidak apa-apa, baringkan saja disitu.” Jelas pelangganya yang muda dan berwajah tampan itu.
“Terima kasih Den” Dengan rasa ketidakenakannya pada pemuda itu.
            Pemuda itu pun menyerahkan dua piring kepada Minah. Satu piring untuk istri pemuda itu. Lalu pemuda itu pun bertanya,
            “Ibu, kenapa si bapak selalu dibawa-bawa jualan? Kenapa tidak ditinggal saja di rumah?” Pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.
            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya.” Jelas Minah dengan penuh keyakinan. Seperti halnya ia menjawab pertanyaan dari pelanggannya yang pertama.
            ”Keluarga Ibu?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh. Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini.” Pun sambil memotong lontong dagangannya.
            “Anak Ibu?” lagi pertanyaan itu keluar dari mulut pelangganya.
            “Anak?” Ia berhenti memotong-motong lontong. Tiba-tiba matanya menatap tajam pisau yang dipegangnya. Terlintas dalam benaknya bayangan itu.
 
            Dua tahun yang lalu. Anak lelakinya—anak keduanya, selalu ia manja, ia sayang, ia belai. Seperti halnya pada anaknya yang pertama. Anak lelakinya saat itu sudah duduk di kelas 6 sekolah dasar. Namun ia sangat nakal. Terutama saat di dalam kelas. Ia selalu membikin onar. Kenakalannya itu berawal dari teman sepermainannya di luar sekolah. Ia selalu bermain dengan pengamen, gelandangan di perempatan lampu merah. Dan Minah yang pada saat itu sibuk dengan bisnis emasnya—ditemani sang suami. Ia tidak tahu akan perkembangan anaknya. Pada suatu hari, Minah menerima surat dari sekolah anaknya. Anaknya sudah melawati batas berbuat onar di sekolah. Anaknya mencabuli teman perempuannya di kelas. Dan ditemukan di dalam tasnya, banyak majalah porno dan VCD porno. Minah kaget setengah mati akan ulah anaknya itu. Anaknya diskors selama satu minggu. 
 
            Sepulang dari sekolah. Minah menghukum anaknya. Minah melarang anaknya untuk keluar rumah. Minah tidak memberinya uang jajan sama sekali. Setiap kali ada teman-temannya yang mengajak main, Minah langsung mengusir mereka. Minah pusing mengadapi semua itu. Harga dirinya merasa terhina akibat ulah anaknya itu. Dengan penuh emosi Minah menampar wajah anaknya, berulang kali. Kesabarannya hilang kendali, ia memberontak dan berjalan menuju dapur. Di ambillah sebuah benda tajam, lancip, mengkilap. Tiada lain benda itu adalah PISAU. Seketika dengan emosinya yang membeludak, anaknya yang sedari tadi hanya terdiam membisu kini berlumuran darah di perutnya. Beberapa menit kemudian, barulah Minah sadar. Namun semuanya sudah terlambat. Dan sejak itu pula suaminya mendadak terserang struk.
 
            “Ibuu... Ibuu...” Pemuda itu melambai-lambaikan tangannya di wajah minah. Lalu pemuda tampan itu pun menepuk bahu Minah. Seketika Minah pun tersadarkan kembali dari lamunannya.
            “Ya Tuhan...” Minah sambil memenjamkan matanya sekali.

***
           
Tak henti-hentinya Minah melangkahkan kakinya kembali ke pelanggan selanjutnya. Suaminya pun ia gendong kembali tanpa mengeluh sedikitpun. Dan tidak lupa Minah meminumkan obat terlebih dahulu pada suaminya “Aku harus tetap kuat... harus!” Gerutunya kembali.
 
Sekitar sudah melewati beberapa pelanggannya sejak pagi tadi, kini ia berjalan menuju pelanggan setianya yang terakhir. Seperti biasa Minah mengangguk sambil tersenyum, menandakan ia sudah siap melayani pelanggannya yang terakhir itu. Dibaringkannya kembali suaminya. Namun kali ini Minah mendapat sedikit keistimewaan yang belum pernah dirasakan. Pelangganya menyuruh agar suaminya di baringkan di tempat tidur saja. Sesuatu yang benar-benar istimewa bagi Minah.
 
“Sudah tidak apa-apa, baringkan saja disitu.” Jelas pelangganya yang sudah naik haji lima kali itu.
“Terima kasih Pak Haji” Rasa ketidakenakannya pun kembali bersarang dihatinya.
 
            Sama halnya dengan pelanggan pemuda tampan, Pak Haji itu pun menyerahkan dua piring kepada Minah. Satu piring tentu untuk istrinya. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti sebelumnya pun terlontar kembali,
            “Bu, kenapa si abah selalu dibawa-bawa jualan?” Tanya Pak Haji.
 
            ”Kekuatan saya akan selalu ada jika ia ada di samping saya. Ia adalah segalanya bagi saya. Benar-benar segalanya.” Keyakinannya semakin kuat. Air mukanya menunjukkan benar-benar ia sangat mencintai suaminya.
            ”Keluarga Ibu?”
            ”Mereka sudah tidak mau peduli lagi dengan keadaan kami. Mereka enggan mengurusi orang lumpuh. Apa boleh buat saya harus berjuang keras menjalani hidup ini, Harus!” semakin dengan penuh keyakinan, pun sambil memotong lontong dagangannya.
            “Terus anak Ibu?” tak pernah bosan pertanyaan ini pun terlontar kembali dari mulut pelanggannya. Namun telinganya masih menerima dengan sabar akan semua itu.
            “Anak?” Seketika Minah pun langsung menatap kembali awan-awan dilangit, setelah itu ia pun langsung menatap pisau yang sedang dipegangnya. Seketika ia pun berbicara,
            “Sebenarnya aku benci dengan awan itu.” Sambil menunjuk ke atas. Lalu Minah berbicara kembali,
            “Sebenarnya aku pun benci dengan pisau ini.” Sambil mengetok-ngetok gagang pisau pada tumpuan lontongnya. “Tapi tak ada gunanya menyalahkan itu semua, karena aku yakin semua itu adalah atas kehendak-Nya.” Minah kembali memotong-motong lontongnya, sedangkan Pak Haji nampak kelihatan bingung.
             
Usai melayani, Minah pun melanjutkan perjalanan untuk pulang. Tak merasa bosan ia pun mengendong kembali suami tercintanya. Namun Minah tidak sadar, kali ini suaminya sudah benar-benar kaku di punggungnya.

pemulung koran

Sepertinya sampai detik ini pun Heri tak ingin berhenti untuk tetap membaca. Entah ia mendapatkannya dari mana. Terpenting adalah dia bisa membaca di manapun dia berada. Meskipun terkadang dia tidak mengerti dengan bacaannya itu.
 
Anak kecil berwajah lugu itu memang kesehariannya seperti itu. Memunguti setiap tulisan yang sekiranya bisa untuk dibaca. Entah itu dari sobekan koran-koran yang berseliweran dijalan, ditempat pedagang gorengan, atau ia menemukan di bawah kolong jempatan. Semangatnya yang masih belia itu sangat memprihatinkan.
 
Dia masih mengejar-ngejar sobekan koran itu yang melayang-layang menuju sekolah dasar negeri Singarajan. Ia menangkapnya, membacanya sekilas “Curat Marut Pendidikan di Indonesia”  lalu ia langsung memasukannya dalam tas berbentuk segi empat berukuran panjang-lebar 40x20 cm. Tas itu terbuat dari kain bekas tepung terigu.
 
Di sisi pagar sekolah itu ia memandangi anak-anak sedang bemain di halaman sekolah. Ada yang sedang main bola, main engklek, dan sebagainya. Ia begitu iri melihatnya. Tapi apalah daya, semua itu hanyalah sebuah harapan kosong. Orang tuanya tidak mampu menyekolahkannya.
 
“Bapak, Heri pengen sekolah kayak anak-anak itu…” lirihnya di sisi pagar sekolah itu. Tidak lama kemudian ia pun pergi entah kemana.
***
            “Bapak, kapan Heri bisa sekolah?”
            “Sudahlah kamu ngomong apa sih!”
            “Kok Bapak begitu? Umurku sudah sepuluh tahun. Kok belum juga sekolah? Nggak kayak teman-teman aku di luar sana.”
 
            Wong buat makan sehari-hari saja susah. Kamu minta sekolah.”
            Heri cemberut kembali. Mungkin sudah kesepuluh kalinya ia begini. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada bapaknya, pasti jawabnya selalu begitu. 
 
            “Lihat! bapak hanya seorang pemulung. Mending kamu bantuin bapak nyari barang-barang bekas. Bukan sobekan-sobekan koran seperti ini!” Bapaknya melempar tas tepung terigu itu. Isinya berserakan di tanah, ada beberapa yang basah terkena air.
 
            Heri langsung memungutinya kembali. Lalu ia pun meninggalkan bapaknya dari teras bale itu. Ia langsung masuk ke dalam rumah, memeluk ibunya yang sedang menyuapi adik perempuannya makan ubi rebus.
            “Heri, kamu kenapa?”
            “Aku pengen sekolah Bu…”
            “Ia nanti, kalo ayah sama ibu sudah punya uang.”
            “Kapan punya uangnya? Dari dulu bilangnya begitu terus.”
 
            Ibunya tidak bisa jawab apa-apa lagi. Keinginan Heri untuk sekolah memang sangat tinggi. Apalagi saat beberapa teman dekatnya itu mulai mengajarinya membaca, terkadang sesekali meminjamkan buku sekolahnya pada Heri. Heri menjadi semakin antusias untuk bersekolah.       
 
            Ia baru setahun belakangan ini bisa membaca. Setiap malam kadang ia ikut bersama teman-temannya untuk belajar. Untung teman-temannya itu baik dan menerima segala kekurangan yang dimiliknya.
            “Rini, makasih yah sudah ikut numpang belajar disini.” Begitulah ucapnya jika usai belajar di Rumah Rini, teman tetangganya.
 
            “Iya, tidak apa-apa. Justru aku senang kita bisa belajar disini, juga bareng teman-teman. Besok kesini lagi yah!” Ujar Rini malam itu. Heri hanya menganggukkan kepalanya, sambil memasang kedua kakinya pada sandal jepitnya yang lusuh itu.
 
            Rini, adalah anak dari seorang kepala sekolah. Buku-buku di Rumah Rini pun lumayan banyak. Rini sering meminjamkan bukunya, kadang memberikannya pada Heri. Tapi Heri seringkali menolaknya. Ia tahu buku itu bukan milik Rini, tapi milik Ayahnya di sekolah. Dan semenjak itulah ia berinisiatif  sendiri untuk mencari sebaris kata-kata yang tercecer di jalanan sebagai pengisi kekosongannya menunggu malam tiba.
***
            “Heri, sudahlah mulai malam ini kamu jangan main ke rumah Rini lagi! Ayah merasa tidak enak sama Pak Romli.” Ujar bapaknya malam itu.
 
            “Kata Pak Romli juga nggak apa-apa kok. Biar nemenin Rini belajar katanya.”
            “Sudah! Kamu diam! Semenjak kamu sering bergaul di situ, kamu jadi begini. Jawab saja kalo di bilangin.”
 
            “Ada apa sih Pak? Ribut saja.” Ibunya terbangun sehabis menyusui anak perempuannya itu di kamar.
“Biasa. Ini anakmu. Kalau dibilangin rewel.”
“Sudah sih Pak, kasian si Heri. Untung Pak Romli dan anaknya itu baik.
 
Mau menerima anak kita belajar di rumahnya. Bapak ini bagaimana sih? Bukannya malah senang anaknya semangat belajar. Kok malah dilarang.”
 
            “Bukan begitu Bu. Justru aku khawatir jika dia sering bergaul dengan anaknya pak Romli itu. Nanti, dia nggak bakalan berhenti minta sekolah. Sudah tahu kondisi ekonomi kita seperti ini.”
 
            Heri yang sedari tadi duduk di kursi. Ia menundukkan kepala mendengar kedua orang tuanya saling bertengkar. Tidak lama kemudian ia pun pergi keluar rumah sambil membawa tas kesayangannya. Heri berlari. Dan terus berlari. Ia tidak menghiraukan sahutan kedua orang tuanya yang memanggil-manggilnya, melarangnya untuk pergi.
 
            Malam semakin sunyi. Kedua orang tuanya pun belum berhasil juga menemukan anaknya itu. Pencarian dimulai dari rumah Rini. Tapi tidak ada sesosok anaknya itu. Malah, Pak Syukur—nama bapaknya Heri—seketika menyesal dari apa yang sudah ia lakukan terhadap anaknya, setelah Pak Romli menceritakan bahwa anaknya itu sangat cerdas dan pintar.
 
            “Padahal saya sudah mengusulkan dengan Lurah setempat, agar memperhatikan dan bisa menyekolahkan anak-anak kurang mampu di desa ini.” Ujar Pak Romli malam itu. Mendengar hal itu, Pak Syukur segera berlari melanjutkan pencarian anaknya itu. 
 
            Hingga menjelang fajar, Heri pun belum juga ditemukan. Ayahnya sudah menyusuri beberapa tempat yang sering Heri singgahi. Seperti rel kereta api, kolong jempatan, tempat-tempat pedagang gorengan, dan sebagainya. Tapi tetap saja seraut wajah lugu itu belum juga ditemukan.
 
Setahun-dua tahun berlalu. 

            Pak Syukur belum juga bisa menemukan anaknya itu. Meskipun pengumuman sudah di tempel di dinding-dinding pos ronda, di jalanan, di angkot, di tiang listrik, di kantor polisi, dan sebagainya. Tetapi tetap saja hasilnya nihil. 
 
            Pak syukur dan istrinya pun tidak mau terus-menerus seperti ini. Akhirnya mereka mencoba untuk menjalani hidup seperti biasanya dan melupakan semua yang telah terjadi. Meskipun hal ini memang sangat berat bagi mereka.
***
Di luar sana, bocah itu masih mengejar sobekan-sobekan koran yang terbang di jalanan. Masih berada di tempat pedagang-pedagang gorengan. Masih selalu berharap untuk bisa sekolah. Dan masih selalu suka membaca.

kisah air dan besi

Ada dua buah benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air. Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombong kepada sahabatnya : “lihat ini aku, aku kuat dan keras. aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak.” Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya. Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menenembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana. Aturannya : “barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang.”

Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya, ia menabrakkan dirinya ke batu-batu itu. Tetapi karena kekerasannya, batu-batuan itu mulai runtuh menyerangnya dan besipun banyak terluka disana sini karena melawan batu-batuan itu.

CERITA MOTIVASI : Kisah Air dan BesiCERITA MOTIVASI : Kisah Air dan Besi

Air melakukan tugasnya, ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu, ia dengan lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya tidak terganggu, ia hanya melubangi seperlunya saja untuk lewat tetapi tidak merusak yang lainnya.
Score air dan besi 1:0 untuk rintangan ini atas kemenangan air.

Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua.
Besi mengubah dirinya menjadi mata bor yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia memutar memang celah itu semakin hancur tetapi ia pun juga semakin terluka.

Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu.
Score air dan besi 2:0.

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan tiba di luar gua.
Besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, dan akhirnya ia berkata kepada air : “Score kita 2:0, aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini!”.
Airpun segera menggenang sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi rintangan ini, tetapi kemudian air membiarkan sang matahari membantunya untuk menguap. Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian dengan bantuan angin yang meniupnya keseberang dan mengembunkannya maka air turun sebagai hujan.
Air menang telak atas besi dengan score 3:0.

Pelajaran yang kita dapatkan dari sini, jadikanlah hidupmu seperti air. Air dapat memperoleh sesuatu dengan kelembutannya tanpa merusak dan mengacaukan karena dengan sedikit demi sedikit ia bergerak tetapi ia dapat menembus bebatuan yang keras.
Ingat, hati seseorang hanya dapat dibuka dengan kelembutan dan kasih, bukan dengan paksaan dan kekerasan. Kekerasan hanya menimbulkan dendam dan paksaan hanya menimbulkan keinginan untuk membela diri.

Air selalu merubah bentuknya sesuai dengan lingkungannya, ia fleksibel dan tidak kaku karena itu ia dapat diterima oleh lingkungannya. Dan sekalipun air mengalami suatu kemustahilan untuk mengatasi masalahnya, ia tidak mengandalkan kekuatannya sendiri. Sehingga ia mengalami mujizat, dan dikaruniakan kemampuan untuk merubah dirinya menjadi uap.
Semoga bermanfaat.
CERITA MOTIVASI : Kisah Air dan Besi

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More